Mataku Indonesia 9 : Ikatan Dokter (Sinetron) Indonesia

Klo lembaga resmi kedokteran Indonesia itu IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan di Amrik itu AMA (American Medical Association), maka ada juga teman-teman koas FKUI 2006 yang pernah sedemikian baik hatinya meluangkan waktu mereka untuk menonton sinetron dan mengamati kesalahan-kesalahan medis menyesatkan *sialnya selalu diulang dan diperparah di sinetron manapun* membuat suatu daftar kesalahan medis fatal sinetron mempopulerkan istilah ICHA = Indonesian Cinema Heart Association, suatu parodi bagi dokter-dokter sinetron atau doktron, begitu sepemahaman teman saya 😀 , yang 99,99% melakukan prosedur yang berlawanan dengan AHA (American Heart Association) Guideline, baik tahun 2005 maupun 2010, dimana prosedur CPR yang urutannya ABC dirubah menjadi CAB. Tapi berhubung dokter sinetron ga ngerti ya sebaiknya saya tak perlu berbusa-busa menjelaskan dimari (apalagi gw juga belom baca semua guidelinenya *gubrak*)

Kalau ada ICHA, maka saya mencoba memakai istilah saya yaitu IDSI = Ikatan Dokter Sinetron Indonesia. Tujuan dari IDSI tidak jauh berbeda dengan ICHA, yaitu menghimpun segala adegan sinetron dengan prosedural medis yang BENAR menurut sutradara dan scriptwriter tapi SALAH menurut panduan kedokteran resmi. Bedanya ICHA sama IDSI apa? Well, ICHA itu bikinan temen saya dan temen-temennya yang FKUI 2006,sedangkan IDSI itu bikinan saya 😀 Okeh, to the point, saya jabarkan algoritma penanganan kejang-kejang menurut IDSI, diambil dari sinetron “Dia Anakku” yang tayang di Indosi*r 😀

Disclaimer IDSI dan ICHA :

– Demi pasien dan diri anda, jangan sekalipun mempraktekan sebagian ataupun seluruh yang tertera pada guideline ini pada kehidupan nyata karena jelas-jelas melanggar KUHP pasal 340 tentang pembunuhan berencana

– Namun demi memenuhi tuntutat sutradara,menaikkan rating sinetron dan menguras air mata penonton yang berakibat pada mengalirnya uang ke kantong anda dan membuat anda populer di dunia selebriti, jangan melanggar satupun guidelines dibawah ini. Anda bisa terjerat KUHAP mengenai kerugian dan KUHP pasal 281 tentang pelecehan seksual

Continue reading “Mataku Indonesia 9 : Ikatan Dokter (Sinetron) Indonesia”

Mataku Indonesia 8 : Sebuah Surat Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran

Kopas dari http://adityasaja.blogspot.com/2009/11/sebuah-surat-untuk-dokter-dan-mahasiswa.html Credits go to original writer, Aditya Putra Priyahita. Semoga kawan-kawanku yang sudah di fakultas kedokteran ataupun yang akan mempertimbangkan kedokteran sebagai pilihan karir sadar apa motivasi kalian yang sesungguhnya bila kalian betul-betul ingin menjadi dokter.

 

Rekan sejawat yang terhormat,

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah kemasi barang-barang Anda.
Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik anda menjadi businessman bergelimang rupiah
Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar kekayaan.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah fir’aun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di sekitar Anda hanya agar Anda terkesan paling berharga.

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita. Daripada Anda bersembunyi di balik topeng klimis dan jas putih necis, sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.

Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.

Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan, bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja kehilangan anaknya karena malaria.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan bayaran cuma-cuma.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, “jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia dan berbisik lembut di telinganya,”dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?”

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, “maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani saya”

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya malam.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan.

Yah, memilih menjadi dokter adalah memilih jalan menuju surga, tempat di mana dokter sudah tidak lagi perlu ada…

NB :
Ini bukan provokasi untuk menjadi dokter miskin, bukan juga mengatakan bahwa dokter tidak perlu penghormatan atau hal-hal duniawi lainnya. Tulisan ini hanya sekadar sebuah nasihat untuk diri sendiri dan rekan sejawat semua untuk meluruskan kembali niat kita dalam menjadi seorang dokter. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Silakan menjadi kaya, silakan menjadi terhormat, asal jangan itu yang menjadi tujuan kita. Dokter terlalu rendah jika diniatkan hanya untuk keuntungan duniawi semata. Mungkin akan sangat susah untuk menggenggam erat idealisme ini nantinya. Namun saya yakin, jika ada kemauan yang kuat dan niat yang tepat, idealisme ini akan terbawa sampai mati. Walaupun harus sendirian dalam memperjuangkannya, walaupun banyak yang mencemooh dan merendahkan. Saya yakin, Allah tidak akan pernah salah menilai setiap usaha dan perjuangan hamba-hamba-Nya. Tidak akan pernah.

Aditya Putra Priyahita,
seorang yang sangat merindukan sebuah reuni anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di surga nanti