SOCA-Student Oral Case Analysis : pendahuluan

SOCA atau Student Oral Case Analysis adalah suatu bentuk ujian dimana kompetensi analisa mahasiswa kedokteran diuji dengan suatu kasus dan dipresentasikan secara lisan. Yah, kira-kira begitu definis resminya. Kalau definisi versi mahasiswa adalah suatu bentuk siksaan dan horor bagi mahasiswa dimana ujian lisan ini harus dipersiapkan maksimal 6 bulan sebelumnya dengan bahan-bahan penyakit yang begitu banyak kemudian diundi untuk mendapatkan kasus apa, diagnosisnya apa dan bagaimana tetek-bengek penyakit tersebut. Ujian ini ditentukan oleh 90% kemampuan otak, 5% penguji, 5% hoki.

Yah, memang begitulah liku-lika kehidupan mahasiswa kedokteran, setidaknya di kampus gw dan versi gw. Kalau pandangan orang-orang membayangkan mahasiswa kedokteran itu punya penampilan nerd, freak, kutu buku, tasnya gede, meluk buku-buku tebel, setiap hari kuliah-pulang-kuliah-pulang, gila belajar, pake kawat gigi #eh *lama-lama jadi betty la fea*. Kenyataannya justru kehidupan mahasiswa kedokteran tidak sefreak itu. Emang sih yang harus dipelajari itu banyak buanget-nget, tapi tidak otomatis membuat anak FK seperti orang yang terisolir. Buktinya FK sendiri banyak acara yang diadakan selama satu tahun kepengurusan senat dan selalu saja mahasiswa cukup antusias dalam melaksanakan penyelenggaraan acara tersebut.

Anak FK sendiri sejauh ini selain menghadapi materi kuliah yang luar biasa banyak, membosankan dan melelahkan, dihadapkan dengan ujian 2x dalam 1 blok (atau lebih), pada akhir semester terdapat OSCE (objective structured clinical examination) yaitu ujian dengan berbagai station yang menguji keterampilan medik dasar para mahasiswa yang sudah dilatih selama 1 semester. OSCE ada di setiap semester sedangkan SOCA terdapat hanya pada semester-semester tertentu yaitu semester 4 dan 7. Namun, tahun ini, keputusan dari fakultas kedokteran mengubah SOCA diadakan tiap semster genap plus semester 7. Di akhir masa pre-klinik, OSCE dan SOCA akan bergabung menjadi ujian super mengerikan yang disebut OSCE-SOCA komprehensif. Di samping ujian-ujian tadi, kegiatan umum mahasiswa selain kuliah di dalam kelas, ada juga praktikum anatomi, fisiologi, biokimia, histologi, patologi anatomi dan patologi klinik masing-masing sesuai kebutuhan blok. Kegiatan mingguan yang biasa yaitu PBL (problem based learning) suatu diskusi student centred dengan dasar suatu kasus/masalah yang harus diolah dan ditemukan serta dipelajari tujuan pembelajarannya serta Skills Lab, kegiatan mingguan yang mengajarkan keterampilan medis dasar bagi mahasiswa pre-klinik.

Sekian overview mengenai kegiatan mahasiswa kedokteran, sekarang kita kembali ke SOCA. Ujian ini cukup mengerikan dimana mahasiswa akan diberika suatu kasus dari undian, membuat flipchart dalam 30 menit yang menjelaskan diagnosis penyakit dari kasus yang diberikan, kemudian 20 menit mempresentasikn flipchart tersebut di depan 2 orang penguji dan 10 menit terakhir ditanya-tanya oleh sang penguji. Tahun-tahun sebelumnya, flipchart berisi overview, analisis, diagnosis diferensial dari kasus yang diberikan yang kemudian berujung pada pembahasan penyakit dari definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, patogenesis, patofisiologi, diagnosis, tata laksana dan prognosis. Hal ini masih tetap berlaku bagi angkatan 2008 yang sekarang duduk di semester 6, namun hal berbeda diterapkan pada angkatan 2009 dan 2010. Angkatan 2009 cukup menjelaskan patofisiologi dari suatu penyakit, sebagai pengganti, kami harus menjelaskan mengenai anatomi dan fisiologi. Angkatan 2010 malah lebih aneh, karena SOCA mereka adalah yang pertama kali di semester 2 dan mereka harus menerangkan fisiologi sistem-sistem dalam tubuh. Bingung? Gw aja ga kebayang apa isi flipchart mereka.

SOCA dan OSCE sebagai salah satu ujian dalam kurikulum KBK diterapkan di berbagai fakultas kedokteran. Ada yang SOCA hanya diujikan semester 4 dan 7 (ini diterapkan di kampus gw,setidaknya sampai tahun lalu), diujikan tiap semester genap (berlaku di kampus gw tahun ini) atau malah tiap semester (harapan pimpinan FK begitu). Ada kelebihan dan keuntungan soal frekuensi SOCA diadakan tiap semester. Misalnya, SOCA yang diadakan semester genap dan tiap semester bisa membawa bencana bagi angkatan yang mulai diberlakukan KTI sendiri-sendiri. Praktis, kehidupan mahasiswa akan berisi kuliah, makan, tidur, SOCA dan KTI. Sedikit perhatian yang bisa dialihkan untuk kehidupan organisasi. Yang KTI masih berdua-bertiga aja menolak SOCA tiap semester genap apalagi yang KTInya sendiri. Kelebihannya, apalagi yang SOCA diadakan tiap semester, elu akan diuji isi otaknya hanya materi 1 semester, praktis bahan lebih sedikit dan minimal elu ga akan lupa (daripada ditampung untuk 2 semester). Tapi, tetap keunggulan SOCA adalah mahasiswa mau tidak mau akan belajar kembali apa yang sudah mereka pelajari dalam semster dan tahun tersebut dalam versi pengertian mereka sendiri. Yah, memang ribet, menguras tenaga, waktu tidur, air mata bahkan memboroskan heart rate *halah*. Gw sebenernya sih setuju aja SOCA tiap semester, tapi yang namanya ngomong itu gampang, mengatur waktu untuk belajar bersama kelompok SOCA lebih susah. Ada saja kegiatan individual yang menghalangi jadwal belajar SOCA bersama yang sudah disusun. Ditambah dengan materi SOCA yang ga bakal diberitahukan batasan-batasannya, bisa saja kami membantai diri sendiri dengan over-study (maksudnya kami ini sedang belajar menjadi dokter umum, bukan dokter spesialis? Apa jadinya kalau kami mempelajari kompetensi spesialis kemudian diuji di depan dokter spesialis, kami malah memperlihatkan kebodohan?). Gw tidak berencana untuk mentreatment sendiri pasien kanker, berhubung kompetensi gw ga setinggi spesialis onkologi, mengapa tidak merujuk pasien tersebut ke dokter onkologi? Jadilah dokter yang bisa mendiagnosis, tau kapan mentreat pasiennya sendiri, dan kapan harus merujuk. Demi kebaikan pasien kan? Dan SOCA menjadi suatu metode yang digunakan untuk memeriksa apa isi otak dari mahasiswa kedokteran beserta cara pikirnya.

Mai kita lanjut. SOCA membuat gw mau tidak mau, mundur, maju kena mundur pun kena, apalagi diam *apaan sih?* belajar dengan sekuat tenaga mengenai penyakit-penyakit yang sebenernya sudah dikuliahkan apalagi yang belum dikuliahkan, bisa gw pelajari dan diexplore. Well, ini juga salah keunggulan SOCA yang sudah disebutkan. Minimal walau gw juga mengeluh soal SOCA, gw pun tidak menyesal belajar. Melalui SOCA, gw belajar kembali soal penyakit-penyakit infeksi dan alergi-imunologi, dimana pada semester 3, gw sangat amat tidak mengerti mengenai hal-hal tersebut. Tapi dengan belajar SOCA, gw mengerti, padahal dulu gw tidak mengerti sama sekali. Apalagi infeksi. Indonesia masih surga bagi penyakit infeksi, gimana nanti gw jadi dokter tapi ga paham penyakit infeksi? SOCA juga membantu gw mengulang pelajaran di semester 4, yang jauh lebih dikuasai daripada semester 3 tapi dilupakan juga.

Ngomong-ngomong, apakah tulisan diatas membuat SOCA lebih mengerikan? Well, gw merasa begitu karena saat SOCA, gw bakal ditanya-tanyain soal penyakit dan isi otak gw oleg 2 orang penguji lagi. OSCE terdengar tidak begitu mengerikan ya? Selain gw tidak bertujuan membahas OSCE, OSCE diadakan tiap semester, setidaknya kau akan terbiasa dengan OSCE, walau kalau gagal OSCE, harus bayar 500rb. Gagal SOCA? 200rb saja disertai mengulang materi ujiannya. Berat? Maybe yes maybe no. Persiapan SOCA tidak ada yang sia-sia, seandainya gagal, minimal materi yang telah dipelajari untuk SOCA, masih menempel sekian persen dan mengulangnya tidak seberat bulan-bulan persiapan SOCA dan ada masukan bagaimana menganalisis suatu kasus. Gw sendiri menganggap SOCA bukan sebagai rintangan, tapi sebagai challenge yang perlu ditaklukan. Dan kegagalan/keberhasilan dalam SOCA jauh lebih emosional daripada sekedar tidak lulus ujian blok ataupun gagal OSCE.

Cerita menyusul ๐Ÿ™‚

One thought on “SOCA-Student Oral Case Analysis : pendahuluan

Leave a comment